Simalungun – Satu hari ke depan, dunia akan memperingati Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia pada 9 Agustus 2024, disusul dengan perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-79 pada 17 Agustus 2024. Namun, di tengah perayaan ini, ada isu mendalam yang memerlukan perhatian serius: perjuangan hak masyarakat adat yang sering kali terabaikan.
Hari Internasional Masyarakat Adat pertama kali ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1994 untuk meningkatkan kesadaran akan hak-hak masyarakat adat di seluruh dunia. Menurut PBB, masyarakat adat adalah kelompok yang memiliki ciri-ciri budaya, tradisi, bahasa, dan identitas yang khas serta memiliki hubungan historis dengan wilayah tertentu. Mereka sering kali hidup dalam komunitas yang terpinggirkan dan menghadapi diskriminasi serta pelanggaran hak asasi manusia.
Salah satu contoh tragis adalah kasus Sorbatua Siallagan. Pada Maret 2024, Sorbatua Siallagan diculik oleh pihak Polda Sumatera Utara, menyebabkan kepanikan di kalangan keluarga dan masyarakat adat. Beberapa jam setelah penculikan, diketahui bahwa Sorbatua dibawa ke Polda Sumatera Utara untuk proses hukum dengan tuduhan melakukan pembakaran kawasan hutan dan menduduki lahan tanpa izin. Tuduhan ini terkait dengan wilayah adat keturunan Ompu Umbak Siallagan yang berada di Desa Pondok Buluh, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Kawasan hutan yang dimaksud adalah wilayah konsesi milik PT. Toba Pulp Lestari.
Kasus Sorbatua Siallagan bukanlah yang pertama. PT. Toba Pulp Lestari telah melakukan beberapa kali kriminalisasi terhadap masyarakat adat di Tano Batak, mencakup Kabupaten Toba, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Simalungun, dan wilayah lainnya yang mencakup tujuh kabupaten. Konflik tanah antara masyarakat adat dan perusahaan raksasa ini kerap berujung pada kriminalisasi terhadap masyarakat adat.
Pada sidang tuntutan yang digelar di Pengadilan Negeri Simalungun pada Senin, 29 Juli 2024, Sorbatua Siallagan dituntut empat tahun penjara dengan subsider enam bulan atau denda satu miliar rupiah. Pada 7 Juli 2024, Sorbatua memasuki tahap sidang pledoi, di mana ia membacakan pembelaan di hadapan Majelis Hakim.
Dalam pembelaannya, ia mengutip umpama Batak yang mengingatkan untuk berlaku adil di hadapan semua manusia, “Parhatian so tarajuan, Hu atas so ra mukkit, Hu toru so ra monggal, Ikkon si tikkos ni Ari, si jujur ni ninggor”. Banyak peserta persidangan yang meneteskan air mata mendengar pembelaannya, terutama ketika Sorbatua menyatakan bahwa apapun yang terjadi, ia akan tetap berjuang atas tanah warisan leluhurnya.
Di sisi lain, beberapa oknum menyatakan bahwa tidak ada tanah adat di Kabupaten Simalungun, memperkeruh tragedi ini. Sarmedi Purba dari lembaga adat Simalungun, Partuha Maujana Simalungun (PMS), dengan tegas menyatakan bahwa di Simalungun sejak dahulu adalah tanah kerajaan, bukan tanah adat. Pernyataan ini dibantah oleh Boy Raja Marpaung, penasihat hukum dari Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara (TAMAN), yang menegaskan bahwa tanah warisan yang diberikan oleh leluhur adalah termasuk dalam tanah adat. “Apakah orang tua ahli tidak mewariskan apa pun kepada ahli? Apakah tanah warisan yang diberikan orang tua ahli bukan termasuk dalam tanah adat?” tanya Boy Marpaung
Kekuatan dan kekuasaan oligarki sering kali digunakan untuk memecah belah masyarakat yang damai berdampingan, mengaburkan bahkan menghancurkan bukti sejarah, serta membenturkan sesama saudara.
Menurut Hengky Manalu, berbagai pihak sudah seharusnya bersatu untuk melawan perusahaan perusak lingkungan dan oligarki yang merampas ruang hidup, khususnya di daerah pedesaan yang masuk dalam klaim kawasan hutan negara yang ditetapkan secara sepihak tanpa melibatkan masyarakat, lalu memberikan izin konsesi kepada investor. “Ketidakadilan yang dialami masyarakat adat ini harus segera diselesaikan. Mereka sudah mendiami wilayah tersebut selama ratusan tahun. Masyarakat adat memiliki peran penting dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dengan mengusir penjajah dari tanah mereka masing-masing. Kenapa setelah merdeka, negara sesuka hati merampas tanah masyarakat adat?” tegas Hengky.
“Bagi masyarakat Batak, tanah adalah identitas: huta na marmarga, marga na huta,” tambah Hengky.
Peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional dan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia seharusnya menjadi momentum untuk refleksi dan aksi nyata dalam menghormati, melindungi, dan memperjuangkan hak-hak masyarakat adat. Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) memberikan kerangka kerja yang jelas untuk pengakuan dan perlindungan hak-hak tersebut. Namun, implementasi di lapangan masih memerlukan komitmen dan tindakan nyata dari semua pihak.
Dengan memahami dan menghormati prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh PBB, kita dapat bekerja bersama untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan setara bagi masyarakat adat. Perjuangan mereka adalah bagian integral dari sejarah dan masa depan bangsa yang merdeka dan berkeadilan. Hanya dengan menghormati hak-hak masyarakat adat, kita dapat mewujudkan kemerdekaan yang sejati bagi seluruh rakyat Indonesia.
(Aris Simangunsong)