Tindak Lanjut Kasus Kriminalisasi Terhadap Masyarakat Adat Sihaporas Oleh Polres Simalungun

Avatar photo
Sidang pemeriksaan saksi pemohon dan termohon
banner 120x600
banner 468x60

Simalungun – Penanganan kasus kriminalisasi terhadap masyarakat adat Sihaporas yang dilakukan oleh Polres Simalungun kini memasuki babak baru. Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara (TAMAN) menghadirkan tiga orang saksi dalam persidangan di Pengadilan Negeri Simalungun pada 15 Agustus 2024. Kasus ini berawal dari penculikan lima masyarakat adat keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas pada 22 Juli 2024 oleh pihak kepolisian Simalungun.

Lima masyarakat adat Sihaporas yang diculik adalah Thomson Ambarita, Jonny Ambarita, Giovani Ambarita, Parando Tamba, dan Dosmar Ambarita. Setelah penangkapan, ketiganya – Jonny, Thomson, dan Giovani – ditetapkan sebagai tersangka, sementara Parando Tamba masih dalam proses pemeriksaan. Dosmar Ambarita kemudian dibebaskan dan dinyatakan tidak bersalah.

Kapolres Simalungun, AKBP Choky Sentosa Meliala, melalui siaran pers menjelaskan bahwa penangkapan tersebut berkaitan dengan dugaan pengeroyokan yang dilaporkan oleh pekerja mitra PT Toba Pulp Lestari (TPL).

Sidang Praperadilan: Masyarakat Adat Sihaporas Menuntut Keadilan

Sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Simalungun dimulai pada pukul 10.00 WIB, Kamis, 15 Agustus 2024. Sidang ini dipimpin oleh Majelis Hakim Anggreana E. Roria Sormin, S.H.,M.H., dengan nomor perkara 4/Pid.Pra/2024/PN Sim. Dalam persidangan, tim penasihat hukum masyarakat adat menghadirkan tiga orang saksi fakta: Nurinda Napitu, Anita Simanjuntak, dan Dosmar Ambarita.

 

Menurut keterangan Dosmar Ambarita, pada dini hari tanggal 22 Juli, sekelompok orang tidak dikenal masuk secara paksa ke dalam rumah mereka tanpa menunjukkan identitas. Mereka langsung melakukan kekerasan terhadap masyarakat adat yang sedang beristirahat. “Sekitar 20 orang masuk, menendang pintu saat kami sedang tidur. Tanpa mengucapkan sepatah kata, mereka langsung menginjak, menendang, dan memukul kami dalam keadaan telungkup,” ujar Dosmar.

 

Selain itu, dalam kejadian tersebut, seorang perempuan dan seorang anak juga terluka. “Ada seorang anak yang menjadi korban. Anak itu terjatuh dan dipelintir setelah mencoba melawan, mereka juga menodongkan pistol dan menembak atap rumah ,” lanjut Dosmar.

 

 

Pihak termohon juga menghadirkan saksi ahli Prof. Maidin Gultom, Rektor Universitas Katolik St. Thomas Medan.

penangkapan tanpa surat tugas dan surat perintah dapat dibenarkan dalam situasi darurat, merujuk pada Perkapolri No 6 Tahun 2009. Namun, kuasa hukum pihak pemohon, Nurleli Sihotang, menilai bahwa konsep darurat yang disampaikan oleh saksi ahli tidak relevan dengan penangkapan Thomson dan kawan-kawan.

 

Keempat masyarakat adat Sihaporas tersebut diculik dari rumah mereka pada 22 Juli 2024 dini hari sekitar pukul 03.00. Penculikan dilakukan dengan kekerasan, tanpa memedulikan identitas para korban. Setelah penculikan, keberadaan mereka tidak diketahui hingga Polres Simalungun mengadakan konferensi pers yang menyatakan bahwa mereka telah ditetapkan sebagai tersangka dalam berbagai kasus.

Protes dan Desakan Keadaan Terhadap Keempat Masyarakat Adat Sihaporas

Sementara itu, di depan Pengadilan Negeri Simalungun, sekelompok massa menggelar aksi protes. Mereka menuntut agar keadilan ditegakkan dan empat masyarakat adat Sihaporas segera dibebaskan. “Kami mengecam keras tindakan pihak kepolisian. Kenapa mereka datang di dini hari dan menculik saudara kami tanpa surat pemberitahuan penangkapan? Berapa banyak uang yang sudah diberikan oleh TPL kepada Polres Simalungun?” tegas Josua Siahaan, salah satu pengunjuk rasa.

Aksi ini mencerminkan ketidakpuasan dan tuntutan masyarakat adat Sihaporas atas penanganan kasus mereka. Proses hukum yang sedang berlangsung akan menjadi ujian penting bagi penegakan keadilan di wilayah ini.

banner 325x300